Jumat, 26 September 2014

MENULUSURI JEJAK LANGKAH SANG PANGERAN YOGYAKARTA


Istana Kepresidenan  Yogyakarta
Wah, lama sudah saya tidak membuat tulisan, hampir setengah tahun juga, maklum, kerjaan kantor lah, main-main lah, ups, hehe… intinya ga ada waktu luang sama sekali buat menulis.. Baiklah, malam ini saya akan mencoba menceritakan perjalanan saya yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu, yap, pada masa-masa kuliah semester 4. Here we are… :)
Berawal dari ngumpul dan ngobrol ngalor-ngidul di salah satu kosan kakak kelas sesama perantauan di kampus, salah satu teman saya mencetuskan ide untuk keliling Pulau Jawa, mumpung lagi di Pulau Jawa katanya, hehe.. Idenya berkembang, dan akhirnya empat orang (termasuk saya) sepakat untuk pergi ke salah satu kota yang sarat dengan sejarah, ya, Yogyakarta, yang pernah menjadi ibukota Indonesia, dan berbagai peristiwa sejarah lainnya yang tidak bisa lepas dari daerah tersebut.
Kebetulan pada waktu itu kami lagi libur semester yang durasinya kebetulan lumayan singkat, sehingga kami tidak berlama-lama memikirkan rundown atau iltenary segala, yang penting berangkat! Haha… Berbekal informasi salah seorang teman di Yogyakarta, kami menjadi percaya diri untuk memulai perjalanan ini, yang merupakan pertama kalinya buat kami berempat. Oh ya, teman-teman saya ada Inal, Mean, dan Rahmat (ntar mereka marah namanya ga dicatut, hehe…
Pada siang di suatu hari yang saya lupa tanggal dan namanya, hehe.. kami berangkat ke Jember. Disana kami memesan tiket kereta api kelas ekonomi yang sangat laris, sehingga sewaktu membelinya berdesak-desakan. Kalo saya ga salah, harga tiketnya waktu itu masih Rp 36.000, -, ntah lah kalo sekarang. Setelah mendapat tiket, kami pun langsung masuk, karena kereta apinya akan berangkat.
salah satu Benteng Peninggalan Belanda Vredeburg
Perjalanan dengan menaiki kereta api ekonomi dari Jember ke Yogyakarta tersebut merupakan pengalaman pertama saya, sehingga pada waktu malam tiba, saya tercengang, melihat banyaknya orang bersileweran di depan saya, ketika saya mau meluruskan kaki, eh, ternyata di bawah bangkunya sudah ada orang yang tidur berselonjoran, wah wah. Teriakan seperti mizon, akua, dll pasti terdengar akrab buat kalian yang sudah merasakannya juga. Tapi bagi saya yang waktu itu baru merasakan, sepanjang malam tidak bisa tidur, disamping karena selalu terjaga akibat teriakan pedagang, saya selalu merasa waswas dengan harta benda, bisa-bisa lenyap dan berpindah tangan.
Kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, sekitar pukul sepuluh malam. Begitu tiba, kami mencari musholla, dan kemudian sholat, walaupun terlambat, tapi hanya Tuhan yang tahu. Selesai sholat dan cuci muka, kami menghubungi beberapa teman kami yang mengenyam pendidikan di sana, untuk menjemput saya yang lagi plonga plongo di stasiun Lempuyangan  . And here we are, YOGYAKARTA! Selama ini hanya mendengar namanya saja dan melihatnya dari layar televisi tayangan yang mengulas Yogyakarta, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Pantai Parangtritis, Malioboro, wah wah, saya merasa sangat senang bisa menginjakkan kaki di sini, kala itu lagunya Kla Project yang berjudul Yogyakarta saya senandungkan di sepanjang perjalanan dari stasiun,
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu,
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna,
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana Jogja….
                Nama Yogyakarta berarti Yogya yang kerta atau Yogya yang makmur. Dalam penggunaan sehari-hari, Yogyakarta lajim diucapkan Jogja (karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Dulunya sih sebelum Indonesia merdeka di sana sudah ada sistem pemerintahan sendiri, yaitu Kasultanan. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dan Kadipaten Pakualam yang didirikan oleh Pangeran Notokusumo pada tahun 1813, yang kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Sempat menjadi ibukota negara Republik Indonesia dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949 pada saat terjadi agresi militer Belanda. Pokoknya tiap sudut kotanya sarat dengan sejarah kawan!
Oh ya, apa sih ciri khas kota ini kawan? Mau tau? Keluar dari stasiun aja udah ketauan kok, orang-orangnya ramah dan bersahabat, tidak beringasan seperti di Jember, keluar dari stasiun udah ditarik-tarik, dan didekati seperti preman, hadeh.. Just try it! Saya sangat menyarankan kepada kalian kawan, datanglah ke Yogyakarta!
Sesampai di rumah Kos an yang bernama Tauhedy, yang merupakan teman yang sedang kuliah di UIN Sunan Kali Jaga  kala itu, dia mengajak kami sarapan. Setelah itu, kami pun rembugan, mau kemana saja, budget berapa, dan estimasi waktunya sampai kapan, haha, disitu baru dibahas kawan. Sesudah sarapan, dan setelah semuanya sepakat, kami pun menyarter kendaraan roda empat, untuk kami bertiga dengan bang Tauhedy sebagai Tour Guide-nya.
Depan Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta
Hari itu juga, sekitar pukul sepuluh pagi, kami sudah berangkat menuju tempat tujuan pertama, tidak ada kata lelah di kamus kami waktu itu. Coba tebak apa yang pertama kami kunjungi? Yap benar, Taman Sari Yogyakarta yang
merupakan situs bekas taman atau kebun istana yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I yaitu pada tahun 1758-1765/9. Kebun istana ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bagian bangunan. Dan yang masih tersisa sampai dengan saat ini ada dua bagian yaitu Bagian pertama merupakan danau buatan yang disebut “segaran” serta bangunan yang ada di tengahnya berupa pulo kenongo, pulo cemethi dan sumur gumuling. Bagian kedua berupa Gedhong Gapura Agung, Gedhong Lopak-lopak, Umbul pasiraman atau Umbul binangun, Gedhong Sekawan, Gedhong Gapura Panggung, dan Gedhong Temanten. 

Masjid Agung Yogyakarta
Pada awalnya saya bersama beberapa Teman  saya sudah keluar dari tempat Kos sekitar pukul 6.30 pagi, berjalan menuju pasar beringharjo. Di pasar tersebut seorang tukang becak menawari saya untuk berkeliling di sekitar kraton ke tempat oleh-oleh batik, kaos dagadu dan bakpia hanya dengan tariff Rp.5000 rupiah saja. Saya pun menerima tawarannya
Saya pun mengutarakan niat saya kepada tukang becak tersebut untuk mengunjungi Taman Sari, namun tukang becak tersebut menginformasikan bahwa Taman Sari baru dibuka sekitar pukul 9 pagi. Setelah berkeliling di sekitar keraton melewati kauman, kampung ngasem menuju jalan sidomukti Rotowijayan dan kembali ke pasar beringharjo ternyata waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi. Akhirnya kami pun kembali ke penginapan sekitar pukul 8.30 pagi. Beristirahat sejenak dan sarapan dengan nasi pecel yang dibeli di pasar beringharjo.

Setelah beristirahat sejenak dan packing untuk meneruskan perjalanan ke solo, maka sekitar pukul 10 kurang kami beranjak menuju taman sari. Untuk menuju Taman Sari dari Sosrowijayan bisa langsung naik Trans Jogja dengan tariff Rp.3000 dan turun di halte malioboro 3, dilanjutkan dengan menaiki becak dengan tariff Rp.10,000 menuju Taman sari. Kami pun diantarkan oleh tukang becak ke pasar burung ngasem. Pada awalnya saya sempat heran kenapa saya diturunkan disini, bukan di gerbang utama. Tukang becak tersebut menunjukkan bahwa Taman Sari ada di belakang bangunan itu, sambil menunjuk bangunan tinggi yang sudah runtuh yang tersisa hanya dinding yang sudah lapuk.

kerrennya gak ketulung
Kami pun berjalan memasuki sebuah gapura yang melengkung dengan dihiasi sebuah lampu berornamen klasik di kedua sisinya. Sebelum memasuki gapura tersebut disisi sebelah kanan saya merupakan pasar ngasem dan setelah memasuki gapura di sisi kiri seperti tempat beristirahat dan tepat di hadapan gapura ada sebuah panggung yang terbuat dari batu-batu alam persegi. 


Disisi bangunan masih bisa dijumpai sisa-sisa reruntuhan bangunan pulau cemeti. Bangunan tersebut seperti tidak terawat, dindingnya kusam dan berlumut. Atap bangunannya runtuh karena termakan usia dan menurut sumber yang lain menyebutkan runtuh karena gempa. Ketika saya tiba ada beberapa pasangan yang berada di sana menikmati sunyinya bangunan. 

Saya berjalan menuju ke arah selatan dan melewati gerbang yang sama seperti saya masuk ke pulau cemeti hanya bedanya ada beberapa gerbang. Saya menuruni beberapa anak tangga dan berjalan masuk ke sebuah pintu yang didalamnya ternyata adalah sebuah terowongan yang menurut sebuah sumber, terowongan ini dahulunya  berada di bawah permukaan air yang menghubungkan pulau cemeti dengan gapura panggung dan pesanggrahan taman sari.

Pemandian Hemengkubowono I
Kami pun berjalan menuju gerbang utama yaitu gapura panggung untuk memasuki pemandian Taman Sari yang biasa disebut umbul binangun. Gapura Panggung yang berada di sebelah timur bentuknya memukau dengan arsitektur dan ornament asli jawa dan dihiasi 2 buah patung naga di sisi gerbangnya.

Kami memasuki gapura panggung tersebut dan setelah membeli tiket seharga Rp.3000 untuk wisawatan domestic, maka kami pun masuk ke dalam taman sari. Setelah keluar dari gapura panggung sebuah jalan yang dibentuk oleh batuan alam persegi yang disusun dengan pola teratur menghubungkan gapura panggung dengan sebuah gerbang menuju umbul binangun. Di tepi jalan tersebut dihiasi beberapa buah pot yang tinggi dan besar, di dalam pot tersebut tertanam sebuah pohon berukuran sedang seakan menggiring pengunjung menuju umbul binangun. 

Selain dihiasi pot berisi pohon berukuran sedang ada 4 buah bangunan yang merupakan gedong sekawan. Bangunan ini memiliki kesamaan bentuk dan ukuran dan diletakkan dihalaman persegi delapan.  Ke empat bangunan tadi pada masa lalu digunakan untuk tempat peristirahatan para istri dan keluarga sultan.

Saya pun berjalan melewati gedong sekawan dan memasuki gerbang menuju umbul binangun. Gerbangnya berbentuk seperti rumah yang di atas pintu masuknya dihiasi oleh ornament jawa klasik dengan unsur cinanya. Sebelum memasuki pintu tersebut lalu saya pun dapat melihat dibawah sana
Trowongan Prajurit
umbul binangun dengan dasar berwarna biru terlihat mempesona. 

Umbul binangun menggoda saya untuk turun dan merasakan kesejukan airnya. Saya pun berjalan menuruni puluhan anak tangga dan saya terhenti tepat di bagian bawah anak tangga. Dari situ umbul binangun pun terlihat sempurna dengan dikelilingi tembok tinggi. Di beberapa bagian kolam terdapat air yang memancar dari sebuah ornament berbentuk jamur dengan sculpture teratai yang memperindah umbul binangun. Sedangkan di beberapa titik di sisi kolam terdapat pot bunga besar yang mempercantik pemandian taman sari.

Di seberang saya berdiri ada sebuah pintu gerbang yang menghubungkan dengan gapura agung. Di sebelah selatan ada sebuah menara yang bisa melihat umbul binangun secara keseluruhan. Konon dari menara tersebut sultan memilih  salah satu selir atau istrinya. Dibalik menara tersebut ada sebuah kolam yang digunakan khusus untuk pemandian sultan dan permaisurinya saja. Umbul binangun terletak di bagian tengah dan di apit oleh menara dan sebuah kolam dengan ukuran lebih kecil yang disebut umbul muncar.

Setelah berkeliling di tiga kolam pemandian tersebut, maka saya pun beranjak menaiki tangga menuju gerbang gapura agung. Setelah menaiki tangga, sebuah halaman luas menyambut dengan bagian tengah berbentuk persegi delapan dan tepat di seberang pintu terdapat gapura agung dengan bentuk yang memukau. Gapura ini berukuran lebih besar dibanding gapura panggung, bentuknya seperti gunung dengan sisi-sisinya yang berundak dihiasi relief burung dan bunga-bungaan serta ornament klasik memperanggun rupa gapura.

Di sisi sebelah utara ada sebuah rumah di teras rumah tersebut ada pria paruh baya yang sedang mengerjakan wayang kulit. Mengukir sebuah kulit yang sudah berbentuk wayang diatas sebuah talenan berbentuk bundar. Tidak jauh dari pria tadi, seorang wanita yang berusia sekitar 30an tahun sedang menggoreskan canting pada sebuah kain. Rupanya wanita tersebut sedang membuat batik tulis yang berukuran 2x1 meter dan jika dijual bisa berkisar Rp.1,500,000.00. Prosesnya yang rumit dan motif yang menarik membuat harga batik tulis tidak murah.
Taman Sari pada masa lalu merupakan sebuah taman megah dengan pulau buatan di tengahnya yang bisa digunakan untuk pertahanan ataupun peristirahatan yang dihubungkan sebuah terowongan bahwa air. Saat ini air yang dulu menggenangi berganti dengan rumah penduduk ataupun wilayah daratan lainnya. Air di Taman Sari hanya terdapat di kolam pemandian yang memberikan kesejukan dan kesegaran bagi para pengunjungnya.
..
Malioboro
Puas mengunjungi Taman sarii, kami pun melangkah pulang. Badan sudah lelah, belum ada tidur dari tadi malam, hanya tidur-tidur ayam saja. Namun malamnya, Bang Tauhedy mengajak kami ke Alun-alun di dekat kawasan Malioboro, nyari angin malam katanya. Tentu saja kami yang semula sudah mau tidur langsung bergerak, kalo cuma mau tidur, di Jakarta juga bisa coy, mumpung lagi di Yogyakarta, hehe… Sesampai di Alun-alun, banyak pemuda pemudi yang nongkrong sambil makan jagung bakar atau kacang rebus. Disana kami hanya berjalan-jalan santai saja, makan kacang rebus, dan sesekali berfoto. Kemudian, karena sudah tidak tahan lagi, kami pun balik ke rumah, istirahat dulu, besok perjalanan masih panjang.
Keesokan harinya, kami prepare buat perjalanan hari ini. Selesai sarapan, kami langsung bergerak ke arah lokasi Candi Prambanan, ya, salah satu kawasan candi yang terkenal juga di Yogyakarta selain Candi Borobudur. Kalau dari legendanya sih, asal muasal candi tersebut berdasarkan dari cerita rakyat yang menceritakan kisah seorang putri kerajaan Prambanan yang bernama Loro Jonggrang yang disukai oleh Bandung Bondowoso, seseorang yang sakti dan memiliki pasukan jin. Akhir dari ceritanya sang putri dikutuk oleh Bondowoso menjadi salah satu candi untuk melengkapi 1000 candi di situ, wah…
Cape dan puas muter-muter disana, kami pun bergerak ke arah Malioboro, salah satu ruas jalan di Yogyakarta yang sangat terkenal. Malioboro merupakan salah satu simbol Yogyakarta selain Keraton Ngayogyakarta. Khasnya Malioboro? Banyaknya bertebaran pedagang kaki lima dan toko-toko yang menjual cendera mata khas Yogyakarta, seperti digambarkan di lagu Kla Project. Disana macet sekali kawan, banyak sekali tukang becak yang mangkal, mereka menawarkan jasa untuk mengantarkan kami keliling jalan Malioboro dengan tarif Rp 10.000, itu dulu, sekarang sih gatau berapa, bbm naik sih, hehe..
Kegiatan kami disana? Makan siang, naik becak, belanja dagadu serta beberapa cenderamata khas Yogyakarta, dan berkeliling dengan tiada bosannya, setelah itu kami baru berhenti karena merasa lelah, ehehe… Selanjutnya kami pun bergerak pulang kembali ke rumahnya bg Yusnan. Ya, kami berencana untuk balik kembali ke Jakarta hari itu juga.
And finally, its come to ending, that was so amazing there, you must be there too buddy! Trims yang sebesar-besarnya buat bg Yusnan yang telah berbaik hati mengajak kami keliling Yogyakarta selama 2 hari, overall sih luar biasa, sayang momen-momen yang terjadi hanya sedikit yang diabadikan, hehe.. lain kali saya akan mampir lagi ke kota ini, keindahan dan keramahan kotanya membuat saya tidak bisa melupakannya, kali aja dapat penempatan disitu kelak, ngarep.  :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar