Rabu, 24 September 2014

Masjid " AJAIB " di Malang Yang Penuh Misteri

Masjid Tampak Dari Luar

Ketika tahu bahwa saya akan berkunjung ke Malang, seorang teman memberikan saran agar saya menyempatkan diri untuk singgah ke masjid Tiban di Turen, sedikit di luar kora Malang.
Awalnya saya tidak terlalu menanggapi, hanya bertanya dengan enteng, “apaan tuh masjid Tiban?”
“Itu masjid yang konon diyakini masyarakat dibuat oleh jin, makanya dinamai masjid Tiban (masjid yang muncul ‘dadakan’),” jawab teman saya.
Saya mulai tertarik, karena biasanya teman yang satu ini tidak suka bercanda dan berbohong. Tapi tetap saja anggapan mengenai jin yang membangun masjid di era modern saat ini agak sulit masuk di akal. Namun hal ini justru membangkitkan minat saya untuk mendatangi masjid yang disebutnya.
Tanpak Pintu masuk darfi lantai 12
Maka ketika urusan pribadi saya sudah selesai di hari Sabtu siang, 24 Agustus yang lalu, saya tanya ke sopir rental apakah dia tahu lokasi masjid Tiban di Turen. Dia spontan jawab, “tahu pak. Saya beberapa kali mengantarkan tamu kesana.”
Kebetulan isteri dan ibu saya juga ikutan ke Malang dan mereka berdua yang penasaran mendengar cerita sepotong soal masjid yang dibangun jin ini, antusias untuk ikut.
Perjalanan menuju Turen yang hanya sekitar 25 km di luar kota Malang ternyata memakan waktu yang lebih lama dari dugaan saya, hampir satu jam. Lokasi persisnya berada di jalan Wahd Hasyim, Gang Anyar, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang.
Singkat cerita, setelah melalui jalan kecil yang cukup mulus namun ramai, kami pun memasuki gang kecil yang hanya muat untuk satu kendaraan. Di kanan kirinya ada kios-kios penjual buah dan makanan. Rupanya itu adalah jalan masuk menuju kompleks masjid. Jalan itu berakhir di pintu gerbang tinggi besar yang terbuat dari keramik biru putih yang dihiasi kaligrafi.
Saya mulai terkesan, karena membuat gerbang sebesar itu dengan tulisan kaligrafi bukan pekerjaan yang mudah. Diatas pintu gerbang terpampang tulisan besar “Selamat Datang – Pondok Pesantren Syalafiyah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir.”
Oh ya, masyarakat setempat lebih mengenal kompleks ini sebagai Pondok Pesantren yang didalamnya terdapat masjid yang menghebohkan ini. Kendaraan yang memasuki kompleks langsung dipandu menuju areal parkir yang cukup luas oleh petugas yang ternyata adalah santri pondok pesantren.
Masih didalam Ruangan tempat Pengantin
Melihat banyaknya kendaraan yang parkir dan iringan mobil yang ada di belakang kami, saya percaya bahwa masjid di Turen ini pasti sudah jadi ikon wisata di Malang. Sopir kami menyebutkan bahwa di hari Minggu para tamu harus memarkirkan mobilnya di luar kompleks saking ramainya pengunjung dan harus berjalan kaki masuk. Begitu turun dari kendaraan, kami diminta untuk mendaftarkan diri ke loket informasi di bangunan khusus bernuansa oranye, sekaligus meminta karcis mobil untuk keluar kompleks. Tanpa karcis, kendaraan tidak diijinkan untuk keluar dari kompleks pesantren.

Di loket pendaftaraan saya hanya ditanyakan nama, kota asal dan berapa jumlah anggota rombongan. Tidak ada bayaran tiket masuk atau semacamnya. Selesai mendaftar, kami mulai celingukan kiri kanan. Bingung, karena terlihat ada banyak pintu masuk.
Ditengah kebingungan, tahu-tahu kami ditegur oleh seorang pemuda berpeci dengan seragam hitam. Rupanya ia santri yang tengah bertugas. Mungkin dia paham bahwa kami merasa asing dengan lokasi, sehingga dia menawarkan diri untuk memandu kami. Pucuk dicinta ulam tiba, kami dengan senang hati mengikuti pemuda tersebut.
Begitu masuk ke bangunan utama, kami diminta melepas sepatu untuk ditenteng menyusuri jalan masuk berupa lorong yang agak mendaki dengan dinding yang dihiasi aneka ornamen, ukiran dan kaligrafi. Pemandu kami menjelaskan dengan singkat bahwa bangunan pondok pesantren ini mulai didirikan oleh KH. Achmad sejak tahun 1978 yang sampai kini pembangunannya sudah mencapai 10 lantai, namun masih belum selesai. Targetnya disebutkan, 18 lantai. Saya memang melihat banyak dinding yang polesannya masih setengah jadi walau tidak terlihat ada yang bekerja.
Ditanya tentang arsitek bangunan, si pemandu kembali menjelaskan bahwa desainernya adalah KH Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh sendiri yang memberikan instruksi pengerjaan kepada para santri berdasarkan hasil istikharah. Artinya, kalau sinyal dari istikharah belum datang, pekerjaannya belum dilanjutkan. Sehingga kalau ditanya seperti apa bentuk bangunan ini nantinya, tidak ada yang bisa menjawab.

Sejujurnya, desain interior gedung ini memang unik, seperti perpaduan budaya timur tengah, dan Cina. Di sepanjang lorong yang kami lalui dindingnya penuh dengan ornamen-ornamen etnik campuran Arab, India dan Cina dengan corak warna yang aneka ragam. Kami berjalan dengan santai sambil menikmati desain interior lantai demi lantai sambil berjalan mengikuti santri pemandu.
Awalnya ibu saya yang berusia 79 tahun agak menolak untuk menaiki tangga untuk menuju ke lantai atas, namun santri pemandu membujuk dengan santun agar ibu saya meyakinkan diri akan kemampuan menaiki anak tangga sambil “istighfar” dalam hati. Alhamdulillah, ibu pun mematuhinya dan mampu naik hingga ke lantai 6 sebelum akhirnya dipandu turun kembali melalui lorong-lorong yang berbeda. Mungkin karena memaklumi memandu orang tua, santri pemandu kami mempersilahkan kami beristirahat sejenak di salah satu lantai yang disebutkan sebagai ruangan penerimaan tamu Kiai Achmad.



tipikal lorong di dalam gedung, dihiasi oleh ukiran dan kaligrafi.
Di lantai berikutnya, saya lupa apakah lantai 5 atau 6, ada kolam renang kecil yang dulunya dibuat untuk tempat mandi putri Kiai Achmad semasa kecil. Kolam itu masih dirawat dan berisi air yang jernih. Kami sempat masuk ke salah satu ruang pertemuan yang konon bisa memuat 200 orang, terpajang sebuah jam antik yang indah ditengah aneka kaligrafi di dindingnya. Di beberapa ruangan terdapat kursi-kursi yang terbuat dari kayu jati dengan desain yang anggun dan unik. Ada lantai yang disini oleh akuarium ikan yang beraneka ragam seperti ikan koi, ikan emas dan lainnya.
Saya bertanya, kenapa ada akuarium disni? Dijawab singkat, bahwa akuarium ini dimaksudkan untuk membersihkan hati para santri serta siapapun yang masuk ke ruangan tersebut. Adanya kubah-kubah yang berhiaskan semacam motif berwarna-warni yang semarak. Ada pula lantai yang memiliki ornamen berupa pohon kurma buatan yang diberi lampu warna-warni yang terlihat indah ketika berkelap-kelip.
Seusai tur singkat mengelilingi bangunan pondok pesantren walaupun hanya sampai lantai 6, kami rehat sejenak di salah satu kios makanan yang tampaknya dikelola oleh santri pondok pesantren. Saya hanya mampu menyiratkan rasa kagum akan kehadiran bangunan pondok pesantren ini yang dibangun oleh seorang Kiai berdasarkan hasil istikharah tanpa adanya pemahaman tentang arsitektur ataupun ilmu teknik sipil.
 Rasanya agak sulit diterima akal, namun itulah faktanya. Pembangunan gedung yang dimulai pada tahun 1978 dilakukan secara bertahap tanpa bantuan alat-alat berat dan modern. Pekerjaan itu semua dilakukan oleh para santri yang jumlahnya 250 orang dan beberapa penduduk di sekitar pondok pesantren. Material yang digunakan untuk membangun juga apa adanya. Diceritakan bahwa waktu itu hanya ada batu merah, sehingga batu merah itulah yang dipasang dengan adonan dari tanah liat (ledok).
Interior Ruang Tamu.... sangat Megah Bukan.....!!!!

Informasi tambahan yang saya baca di wikipedia, pembangunan masjid ini mulai dari bawah tanah, tepatnya di lantai tiga, ada tiang penyangga dari seluruh bangunan yang terbuat dari tanah liat. Satu tiang yang dibuat tanah liat itu yang menjadi roh atau kekuatan dari seluruh bangunan. Pembangunan dan perluasan pondok dilakukan seadanya hingga tahun 1992. Selama beberapa tahun pembangunan sempat terhenti, namun di tahun 1999 pembangunannya kembali dilanjutkan.

Maka ketika masyarakat menyebutkan bahwa bangunan di Turen ini sebagai sebagai masjid Tiban (dadakan) atau banyak juga yang menyebut sebagai masjid Jin, itu sesungguhnya tidak masuk akal. Saya pribadi hanya bingung sekaligus terkesima melihat kenyataan adanya bangunan yang memiliki desain unik (walaupun arsitektur etniknya tumpah tindih) dengan ornamen interior dari bahan-bahan mahal yang dibangun oleh orang-orang yang sama sekali tidak memiliki keahlian ilmu bangunan. Dan juga tidak ada yang bisa menjawab, dari mana dana pembangunan termasuk juga pembelian furniture antik semisal kursi meja marmer dari italia, jam antik, kursi kayu jati yang anggun serta ornamen impor lainnya. Perlu diketahui bahwa jalan masuk ke kompleks pondok pesantren hanya bisa dilalui oleh kendaraan biasa, bukan sekelas truk atau alat berat.
Ketika ditanya, para santri pondok pesantren hanya menyebutkan, itulah kebesaran Allah sehingga persoalan dana dan dari mana asalnya ornamen impor dan interior indah itu berasal, tidak usah dipusingkan. Subhanallah
 
Video Singkatnya






Tidak ada komentar:

Posting Komentar