Senin, 13 Oktober 2014

XPDC BROMO III : TERSESAT DI PASIR BERBISIK



Kalo mo jalan-jalan ke Bromo naik motor, saran saya…. Jangan pakai motor matic. Bisa-bisa, motor Anda turun mesin sepulang dari sana. Hihihi…
persiapan Pemberangkatan

Well, sebenarnya sudah lama saya ingin posting pengalaman saya touring ke Bromo ini. Tapi, yaaaaaa… Baru mood sekarang-sekarang ini. Jadi, baca dan simak aja ya… Siapa tahu bisa jadi rujukan kalo mau touring naik motor dari Jember ke Gunung Bromo .
Jujur saja, ini adalah pengalaman ketiga  saya menuju Gunung yang kata orang eksotis itu. Memang benar kata orang orang klo ke bromo gak bakalan Bosan apalagi garing  . saya mendapatkan banyak cara menuju  Gunung Bromo. Salah satu jalur yang juga menjadi anjuran dari teman yang sudah berulang kali kesana adalah lewat Lumajang kemudian menuju Kabupaten Probolinggo  Alasannya karena jalurnya lebih ‘jinak’ dan karena saya berangkat berdua sama si Adi Umar . yang laennya udah berangkat lebih pagi.... Hihihi…
Hmmmm…Let’s start the adventure…!
Sabtu, 29 Juni 2013. Kita berdua berangkat pukul 15.00 Dari rumah, saya mengenakan jaket, masker, dan membawa ransel yang berisi beberapa kaos, sarung tangan, charger, dan sleeping bag. Perbekalan itu, saya rasa cukup untuk menghalau hawa dingin di Bromo. Dengan mengucap basmalah, do’a keluar rumah, do’a naik kendaraan, dan tak lupa motor diisi Full Bensine 
Jalan ke Penanjakan
Perjalanan agak menyesakkan dada; udara yang panas, monoton, dan lalin yang lumayan padat. Pukul 14.00 saya memutuskan untuk beristirahat sambil mencari pelepas dahaga di sebuah minimarket retail di daerah Probolinggo  Memakan makanan ringan, meminum sebotol minuman vitamin, sambil meluruskan kaki, itu yang saya lakukan. Sekira 15 menit kemudian, saya bawa  sepeda perjuangan kembali melaju di jalanan.
Sekitar setengah jam berikutnya, saya menemukan petunjuk jalan ke arah kanan bertuliskan “Wisata Bromo”. Ada perasaan lega bercampur haruecieeeeeee menelisik di dalam dada. Bromoooo.. Finally, I come…
Makan gak makan asal kumpul... kelaparan tengah malam
Jam yang melingkar di tangan saya menunjukkan angka 17.00 saat Sepeda Perjuangan  membelok ke arah itu. Jalanan yang tadinya padat berubah jadi sangat lengang. Jarang sekali kendaraan yang lewat. Merasa sanksi dengan pilihan jalur tersebut, saya berhenti di depan sebuah rumah untuk bertanya apakah jalur yang saya ambil benar-benar menuju ke Gunung Bromo. Dan pria berbadan tambun yang saya temui disana mengatakan, “Iya, benar. Ikuti saja jalan ini.” Mendengar jawaban itu, hati saya lega seketika.
kamipun melaju melanjutkan perjalanan.
Jalan yang kami lewati semakin lama semakin menanjak. Gigi 2 yang saya pakai tidak mampu mengalahkan tajamnya tanjakan. Sesuatu banget saat sepeda perjuangan mulai meraung mbrebet minta ganti persneling. Antara khawatir dan yakin bahwa si Jingga tak mampu menaklukkan tajamnya tanjakan, saya tetap menggeber si Jingga untuk terus berjalan. Mulut ini tak henti berdzikir untuk menenangkan hati yang bimbang.
Suasana Di cemoro lawang
Alam pemandangan pun semakin lama tersaji semakin indah. Kabut yang mulai turun membuat view yang tertangkap oleh mata juga semakin menawan. Saya agak heran dengan ladang yang dibuat penduduk desa. Lereng yang tajam sekali pun bisa ditanami. Otak saya berputar memikirkan bagaimana cara mereka bercocok tanam dengan lahan yang demikian curam? Koq gak gelundung, ya? Hmmm… Entahlah…
Hawa dingin ikut-ikutan semakin menusuk tulang. Jemari saya seakan membeku merasakan suhu udara di sekitar. Tiba di Desa Sukapura, saya ditawari penginapan oleh orang-orang di pinggir jalan. Mereka menawarkan harga sewa kamar semalam sebesar Rp 100.000. Kalau naik lagi, belum tentu dapat penginapan disana. Karena menurut mereka malam ini ramai sekali tamu yang datang.
Ok… Saya terima informasi itu. Tapi saya tak suka ‘berhenti sebelum mencoba.’ Maka saya ajak sepeda perjuangan untuk melaju lebih keatas lagi. Dalam pikiran saya, kalau tak dapat penginapan diatas, saya akan turun sampai Desa terdekat. Apa susahnya..?
Pukul 18.30 an, saya tiba di loket masuk obyek wisata Gunung Bromo. Satu motor dengan satu penumpang plus asuransi, dihargai kalau tidak salah Rp 18.000.
Hawa dingin, perasaan cemas, khawatir, capek, semuanya terbayar saat saya menyaksikan sunset dari atas Bromo. Subhanallaah… Indaaaaaah… Tapi saya lupa mengambil foto karena terlalu kagum dengan keindahan alamnya.
Sunsite mataharinya mau bobok



Tak lama kemudian matahari sudah tak lagi terlihat, tapi saya sedikitpun tak mendengar suara Adzan isyak  disana. Hmmm… Saya ingat bahwa mayoritas penduduknya beragama Hindu. Pantas saja, tak ada musholla apalagi masjid yang mengumandangkan Adzan. Sebab itu juga lah, saya putuskan untuk segera mencari Musholla  agar  segera melaksanakan Sholat. dan musholla tersebut ku temui di Hotel disekitar Cemoro Lawang. 
Nah, saat saya akan beranjak dari tempat saya menyaksikan sunset, saya dihampiri oleh seorang penjual topi yang -maaf- bermata strabismus. Dia menawarkan kamar dengan harga Rp 150.000 kepada saya. Dengan beberapa pertimbangan, saya tidak menghiraukan tawaran tersebut. Karena teman teman kami sudah menunggu berjam jam untuk menunngu kedatangan kami....


Hari sudah mulai gelap gulita tidak ada suara kendaraan yang menyalip maupun yang melewati rute yang kami tempuh Dengan modal nekat kami turun untuk menuju gurun pasir safana yang begitu amat sangad luas... begitu sampai du gurun pasir kami tidak menemukan camp tempat teman teman kami mendirikan tenda  sehingga kami tersesat di gurun Pasir tersebut ..
Beruntung persedian baterai di HP masih full sehingga kami menelpon salah satu teman kami yang amat jauh dari kami. Bayang kan aja kami tersesat jauh di gurun tersebut. Klau gak salah teman teman kami ngcamp di area baratnya gunung batok atau arah menuju ke penanjakan. Dan kami berada di sebelah timur gunung bromo atau lebih dekat dengan bukit Telletubis atau arah ke Puncak B29..... Cukup Jauh Bukan....???
Setelah kami menghubungi teman kami akhirnya kamipun menuju ke arah barat atau lebih tepatnya jalan menuju bukit pananjakan.
Dengan bermodalkan senter di hp akhirnya kami menemukan beberapa teman kami yang sudah sejak siang mendirikan tenda untuk menginap... disitulah keceriaan dan canda tawa sudah dimulai dan tak lupa Api Unggun sudah dinyalakan sejak awal karena hawa dingin sudah menyerang rombongan kami..... 
Ahad, 30 Juni 2012, jam 02.00... kami  sepakat untuk melanjutkan perjalanan kami yakni ke pananjakan.... dengan bermodal Bismillah dan Bondo nekat kami berangkat ke pananjakan. Tp alangkah terkejut ketika kami akan berangkat kami melihat Tulisan sebelum jalan menanjak yang bertuliskan Wajib Menggunakan Perseneleng Gigi satu dan untuk kendaraan bermotor dianjurkan tidak berboncengan karena Track yang akan di lewati sangat curam dan menantang....!!!
matahari Terbit di Bukit pananjakan
Tapi Tulisan tersebut kami lewati dan melangsungkan perjalanan kami ke tujuan... ternyata benar di papan pengumuman tersebut. Kami harus melewati beberapa tanjakan yang harus kami lalui. Al hasil banyak kendaraan yang mogok karena tidak kuat untuk berboncengan... bahkan tidak sedikit dari beberapa teman saya untuk turun dari motornya dab mendorongnya hingga menemukan jalan  yang tidak begitu menanjak....
Bahkan  salah satu motor teman kami ban sepedanya ada yang bocor. Dengan amat terpaksa sepeda tersebut tepat di kendarai hingga samapi di tujuan yakni pananjakan.
Tepat pukul. 03.30 kami dan rombongan sudah sampai di lataran parkiran Penanjakan di butuhkan kurang lebih 100 meter untuk sampai lokasi penanjakan deangan berjalan kaki
kesempatan dalam kesempitan...... kameramennya mana....!
Sambil menunggu terbitnya matahari waktu tersebut kami gunakan untuk istirahat dan bercanda hingga sunrise terbit
Puas melihat sunrise dari atas Penanjakan, kami dan rombongan  turun kembali melalui jalur yang sama. Saya hanya berani pakai gigi 1, karena curamnya turunan. Sampai-sampai saya membayangkan kira-kira, ada tifak ya, yang terjungkal atau meninggal saat menuruni bukit itu? Hiiii… sereeeem…
Tiba di lautan pasir lagi, saya menyempatkan diri untuk foto fiti sebelum menuju kawah Bromo. Ternyata, lautan pasir itu dingiiiiiin, lho… Hihi…
Kawah Gunung Bromo
Ngomong-ngomong… Di samping kawah Bromo, ada sebuah Pura. Tapi saya tidak berkeinginan untuk mampir atau sekadar mengambil foto di Pura itu. Pura Bromo tak menarik perhatian saya sama sekali. Fokus saya cuma satu, kawah gunung Bromo. Dan berencana akan ambil foto di pura tersebut nanti ketika kami akan pulang
Setalah sampai di tempat parkir kendaraan yang kami gunakan  parkir motor di samping kawah. Tarif parkirnya Rp 5.000. Setelah merasa aman dengan, saya menaiki 1000 tangga yang mengantar para turis mendekati kawah gunung Bromo. Ternyata jumlah 1000 tangga itu hanya 239 anak tangga saja tak sampai 1000. Saya iseng menghitung jumlahnya sambil menunggu giliran berjalan. 
nah.... sesampai di kawasan puncak gunung Bromo, kami dan kawan kawan tidak menyia nyiakan kesempatan untuk mensyukuri Lukisan alan yang di ciptakan Ilahi untuk disajikan kepada umat manusia dengan tujuan agar selalu bersyukur mengafumi ciptaannya... Ceramah dikit ..... hehehehehehe............ 


selanjutnya kita mengambil gambar kawan kawan dengan berbagai pose ada yang berpose seperti katak, lumba2 dll Pokkoke narsi sarsis semua dech......  
Tak terasa kita udah berjam jam di atas gunung bromo, puas dengan foto2an, kami pun memutuskan untuk turun gunung dengan melewati tangga yang telah kita lewati. 
tangga Menuju kawah

Sebelum Turun Actions Dulu Broooo......
setelah berjam jam di kawasan gunung Bromo akhirnya kawan kawan seoakat untuk Pulang je jember karena jam sudah menunjukkan hampir jam 12.00 Siang... mau tidak mau kami harus pulang karena keesokan harinya seabreeeeeeeeeeeeekkkkkk rutinitas telah menunggu kami..... 


Bersambung ke XPDC BROMO IV  Selanjutnya (Masih Belum ada Judul)

Senin, 06 Oktober 2014

XPDC BROMO II : MELAWAN BADAI DI GUNUNG BROMO



Catatan Perjalanan Gunung Bromo.
Setelah di Rencanakan dengan Matang di Kampus STAIN Jember, saya dengan hasyim dan Nur Hadi Sepakat untuk memulai perjalanan panjang Yakni Gunung Bromo yang berada dikawasan Probolinggo. Tak banyak bicara dan dengan perancanaan yang mendadadak, saya dan kawan kawan tanpa babibu langsung bergegas untu memulai perjalanan panjang ini.
Maka diputuskan untuk mengggunakan alat transportasi yang murah Meriah yakni Angkutan rakyat yaitu KERETA API...
We are, Iwan Joyo, Baim, Noer Hadi, Afif, Lilik dan Hayim
Perjalalanan kami dimulai dari Mangli Kabupaten Jember Jawatimur. Dengan menaiki kerta api, banyak cerita dalam perjalanan tersebut mulai dari salah satu teman kami yang gak bayar tiket hingga kebingungan Mau BAB ..
Wal Hasil Kami sampai juga di stasiun Probolinggo. Dan disitulah salah satu teman saya Saiful Namanya asli Laweyan Probolinggo Menjemput romobongan kami. Dan kami pun langsung diajak kerumahnya dikawasan tersebut. dandisamput dengan keramahan yang luar biasa dari keluarga kecil itu..
Keesokan harinya tepat pukul 11.00 kami dan rombongan mencari transportasi untuk menuju kawasa Bromo tapi sebelumnya kami sempatkan untuk singgah di kawasan Air terjun Madakaripura. Yang konon tempat pertapaannya PATIH Gajah Mada.
 
Air Terjun MAdakaripura
Setelah mampir di Air Terjun Madakaripura, perjalanan aku lanjutkan menuju ke kawasan wisata Gunung Bromo. Perjalanan dari Air Terjun Madakaripura ke Gunung Bromo memakan waktu sekitar 40 menit dengan kondisi jalanan yang berliku dan menanjak, aku pun sempat turun dari motor karena tak kuat menanjak.

Setelah membayar tiket masuk sebesar Rp 15 ribu perorang ditambah motor Rp 3 ribu, kami menuju ke sebuah tempat khusus di depan hotel (lupa namanya) yang digunakan untuk melihat pemandangan Gunung Bromo dan Gunung Batok serta lautan pasirnya. Di tempat ini juga ada beberapa penjual bakso dan souvenir keliling yang menjajakan barang dagangannya kepada para pengunjung.  
 
Hotel Bromo Permai I (Tempat Kami nginap)
Usai menyantap semangkok bakso sembari menikmati keindahan Gunung Bromo dan Gunung Batoknya yang sungguh menakjubkan, kami berempat mencari penginapan untuk bermalam sebelum pagi-pagi sekali mengejar sunrise di Gunung Bromo. Toleh kanan toleh kiri, akhirnya pandanganku tertuju di sebuah homestay sederhana bernama Homestay Putra Bromo. Setelah negoisasi harga, kamipun beristirahat setelah seharian di jalanan.

Sebelum si pemilik homestay pergi, aku bertanya tentang jalur ke arah Bukit Penanjakan untuk melihat sunrise. Dia pun menawarkan jasa untuk mengantar sekaligus membonceng 2 teman kami ke Bukit Penanjakan esok pagi dengan tarif Rp 100 ribu, kami pun menerima tawarannya karena tidak mungkin motor kami bisa naik kesana dengan berboncengan.

Pukul 03.00 WIB alarm hpku berbunyi, mata masih sangat berat untuk dibuka, namun demi mengejar sunrise di Penanjakan, mau tidak mau kami harus beranjak dari kasur dan bergegas berangkat kesana. Jam 03.30 tepat, kami berlima menuju ke Bukit Penanjakan dengan menggunakan 3 motor.
walau Dingin, tak mematahkan semangad kami

Untuk menuju Penanjakan ataupun Gunung Bromo, kami harus melewati lautan pasir yang saat itu masih berselimut kabut. Dibutuhkan kehati-hatian untuk melewati jalur ini, karena treknya berupa pasir yang tidak cocok dengan roda motor biasa. Dari kejauhan terlihat sorotan lampu jeep yang juga menuju ke Penanjakan. Untuk sewa jeep sendiri harga paling murah sekitar Rp 450 ribu untuk maksimal 6 orang penumpang.

Ternyata benar, jalur menuju Penanjakan ini sangat berliku dengan tanjakan-tanjakan yang sangat curam. Tak sedikit aku melihat motor pengunjung lain yang berhenti di tepi jalan karena tidak kuat menanjak. Pelan tapi pasti akhirnya motor kami sampai juga di tempat parkir di Penanjakan yang sudah penuh dengan barisan jeep dan hardtop yang terparkir. Selain wisatawan lokal, banyak juga turis asing dengan segala macam peralatan kameranya untuk mengabadikan momen sunrise di Penanjakan ini.
Nyantai diluk sambil berpose bareng


Waktu masih menunjukkan pukul 04.15 WIB, kami pun mencari kehangatan di dalam warung dan memesan beberapa minuman hangat seperti kopi dan susu panas. Di Penanjakan ini, banyak terdapat warung-warung makanan dan minuman yang juga menjual barang-barang khas Bromo seperti kaos, kupluk, sarung tangan, dan syal.
Penanjakan

Waktu yang ditunggu sudah tiba. Kami pun bergegas menuju ke spot sunrise di Penanjakan. Kami harus berjalan kaki sejauh sekitar 100 meter untuk menuju ke spot sunrise ini. Spot sunrise ini tempatnya tidak terlalu luas, namun cukup untuk menampung sekitar 100 orang lebih. Disini juga terdapat bangku-bangku panjang yang biasanya digunakan sebagai pijakan kaki para pengunjung untuk melihat sunrise dan deretan pegunungan seperti Gunung Bromo, Batok, dan Semeru

Pagi itu awan sedikit menutupi langit Bromo, sehingga pemandangan sunrise yang ditunggu puluhan manusia di Bukit Penanjakan ini tidak muncul sempurna. Namun semburat jingga di langit tetap menampakkan keindahannya. Selain memburu matahari terbit, pengunjung juga mengabadikan panorama Gunung Bromo, Batok,Semeru (ada gunung lagi tapi gak tau namanya) yang memang sangat indah bila dilihat dari Penanjakan ini.
Pemuda Penakluk Bromo Tengger Semeru

Setelah puas menikmati sunrise di Penanjakan ini dan matahari sudah muncul sempurna, kami berlima menuju ke lokasi selanjutnya yaitu Gunung Bromo itu sendiri. Kami harus melewati lautan pasir lagi untuk menuju ke Gunung Bromo. Sampai di tempat parkir yang letaknya tidak jauh dari pura, pengunjung harus berjalan kaki bila ingin menuju ke kawah Gunung Bromo.

Bila tidak ingin capek, kamu bisa menggunakan jasa tenaga kuda untuk menuju ke tangga Gunung Bromo, tarifnya bervariasi tergantung kemampuan menawar kamu, bisa cuma Rp 15 ribu atau bahkan Rp 50 ribu. Karena kami ingin menikmatinya dengan santai (ngirit), berjalan kaki dengan sedikit mendaki adalah pilihan yang lebih sehat, hehehe.
Tangga Menuju Kawa Bromo

Ternyata cukup ngos-ngosan jalan kaki menuju ke tangga Gunung Bromo ini, belum lagi kami harus naik tangga yang katanya jumlahnya ratusan anak tangga dengan kemiringan yang cukup terjal. Meskipun aku terbiasa mendaki gunung, namun tetap saja aku harus beristirahat di tengah-tengah perjalanan untuk mengatur nafas yang sudah gak berirama.
 
Puncak Gunung Bromo
Kawah Gunung Bromo akhirnya ada di depan mata setelah melewati anak tangga yang cukup melelahkan. Kawah ini selalu mengeluarkan asap putih setiap saat. Di kawah ini setiap tahunnya diadakan upacara Kasodo, yang salah satu ritualnya adalah melemparkan sesajen ke dalam kawah. Sesajen-sesajen tersebut diperebutkan oleh orang-orang yang telah menunggu di bawah. Memang sedikit mengerikan bila melihatnya, orang-orang tersebut tak memakai peralatan keamanan pun saat berada di bawah sana.
Perjalanan yang mengasikkan

Selain kawahnya yang indah, di sini pengunjung biasanya berfoto dengan menggunakan Gunung Batok sebagai latar belakangnya. Banyak orang yang mengira bahwa Gunung Batok ini adalah Gunung Bromo karena bentuknya yang memang layaknya gunung pada umumnya, padahal bukan. Sebenarnya untuk melihat sunrise bisa dilakukan di Gunung Bromo, namun karena letak Bukit Penanjakan lebih tinggi dari Gunung Bromo, membuat para pengunjung lebih memilih Bukit Penanjakan dalam melihat sunrise. Sunrise di Gunung Bromo pun tak kalah indahnya dengan di Penanjakan, jadi mau pilih yang mana???

Rugi rasanya jika dari Bromo tidak dapat Oleh oleh has Bromo. maka kami memutuskan untuk mengadakan Penelitian di daerah Pegunungan Tengger, ya.... kami mengadakan penelitian cara bercocok tanam yang dilakukan oleh penduduk yang mayoritas mengandalkan tani dengan bercocok tanam yakni Kentang, Gubis, dan Bawang Prey tanam tersebut sangat cocok untuk iklim yang dingi seperti Di bromo 
Kegiatan Penelitian
sedikit, kegiatan tersebut menambah wawasan kami tentang sisi lain keindahan di bali Kehidupan Penduduk Tengger. 
jadi Rugi rasanya jika kalian ke Bromo hanya sekedar berwisata saja tanpa mengetahui seluk beluk penduduk Suku Tengger


Bersambung Ke episode Berikut nya ......................

Jumat, 26 September 2014

MENULUSURI JEJAK LANGKAH SANG PANGERAN YOGYAKARTA


Istana Kepresidenan  Yogyakarta
Wah, lama sudah saya tidak membuat tulisan, hampir setengah tahun juga, maklum, kerjaan kantor lah, main-main lah, ups, hehe… intinya ga ada waktu luang sama sekali buat menulis.. Baiklah, malam ini saya akan mencoba menceritakan perjalanan saya yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu, yap, pada masa-masa kuliah semester 4. Here we are… :)
Berawal dari ngumpul dan ngobrol ngalor-ngidul di salah satu kosan kakak kelas sesama perantauan di kampus, salah satu teman saya mencetuskan ide untuk keliling Pulau Jawa, mumpung lagi di Pulau Jawa katanya, hehe.. Idenya berkembang, dan akhirnya empat orang (termasuk saya) sepakat untuk pergi ke salah satu kota yang sarat dengan sejarah, ya, Yogyakarta, yang pernah menjadi ibukota Indonesia, dan berbagai peristiwa sejarah lainnya yang tidak bisa lepas dari daerah tersebut.
Kebetulan pada waktu itu kami lagi libur semester yang durasinya kebetulan lumayan singkat, sehingga kami tidak berlama-lama memikirkan rundown atau iltenary segala, yang penting berangkat! Haha… Berbekal informasi salah seorang teman di Yogyakarta, kami menjadi percaya diri untuk memulai perjalanan ini, yang merupakan pertama kalinya buat kami berempat. Oh ya, teman-teman saya ada Inal, Mean, dan Rahmat (ntar mereka marah namanya ga dicatut, hehe…
Pada siang di suatu hari yang saya lupa tanggal dan namanya, hehe.. kami berangkat ke Jember. Disana kami memesan tiket kereta api kelas ekonomi yang sangat laris, sehingga sewaktu membelinya berdesak-desakan. Kalo saya ga salah, harga tiketnya waktu itu masih Rp 36.000, -, ntah lah kalo sekarang. Setelah mendapat tiket, kami pun langsung masuk, karena kereta apinya akan berangkat.
salah satu Benteng Peninggalan Belanda Vredeburg
Perjalanan dengan menaiki kereta api ekonomi dari Jember ke Yogyakarta tersebut merupakan pengalaman pertama saya, sehingga pada waktu malam tiba, saya tercengang, melihat banyaknya orang bersileweran di depan saya, ketika saya mau meluruskan kaki, eh, ternyata di bawah bangkunya sudah ada orang yang tidur berselonjoran, wah wah. Teriakan seperti mizon, akua, dll pasti terdengar akrab buat kalian yang sudah merasakannya juga. Tapi bagi saya yang waktu itu baru merasakan, sepanjang malam tidak bisa tidur, disamping karena selalu terjaga akibat teriakan pedagang, saya selalu merasa waswas dengan harta benda, bisa-bisa lenyap dan berpindah tangan.
Kami tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, sekitar pukul sepuluh malam. Begitu tiba, kami mencari musholla, dan kemudian sholat, walaupun terlambat, tapi hanya Tuhan yang tahu. Selesai sholat dan cuci muka, kami menghubungi beberapa teman kami yang mengenyam pendidikan di sana, untuk menjemput saya yang lagi plonga plongo di stasiun Lempuyangan  . And here we are, YOGYAKARTA! Selama ini hanya mendengar namanya saja dan melihatnya dari layar televisi tayangan yang mengulas Yogyakarta, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Pantai Parangtritis, Malioboro, wah wah, saya merasa sangat senang bisa menginjakkan kaki di sini, kala itu lagunya Kla Project yang berjudul Yogyakarta saya senandungkan di sepanjang perjalanan dari stasiun,
Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu,
Masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna,
Terhanyut aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati bersama suasana Jogja….
                Nama Yogyakarta berarti Yogya yang kerta atau Yogya yang makmur. Dalam penggunaan sehari-hari, Yogyakarta lajim diucapkan Jogja (karta) atau Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Dulunya sih sebelum Indonesia merdeka di sana sudah ada sistem pemerintahan sendiri, yaitu Kasultanan. Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dan Kadipaten Pakualam yang didirikan oleh Pangeran Notokusumo pada tahun 1813, yang kemudian bergelar Adipati Paku Alam I. Sempat menjadi ibukota negara Republik Indonesia dari 4 Januari 1946 hingga 17 Desember 1949 pada saat terjadi agresi militer Belanda. Pokoknya tiap sudut kotanya sarat dengan sejarah kawan!
Oh ya, apa sih ciri khas kota ini kawan? Mau tau? Keluar dari stasiun aja udah ketauan kok, orang-orangnya ramah dan bersahabat, tidak beringasan seperti di Jember, keluar dari stasiun udah ditarik-tarik, dan didekati seperti preman, hadeh.. Just try it! Saya sangat menyarankan kepada kalian kawan, datanglah ke Yogyakarta!
Sesampai di rumah Kos an yang bernama Tauhedy, yang merupakan teman yang sedang kuliah di UIN Sunan Kali Jaga  kala itu, dia mengajak kami sarapan. Setelah itu, kami pun rembugan, mau kemana saja, budget berapa, dan estimasi waktunya sampai kapan, haha, disitu baru dibahas kawan. Sesudah sarapan, dan setelah semuanya sepakat, kami pun menyarter kendaraan roda empat, untuk kami bertiga dengan bang Tauhedy sebagai Tour Guide-nya.
Depan Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta
Hari itu juga, sekitar pukul sepuluh pagi, kami sudah berangkat menuju tempat tujuan pertama, tidak ada kata lelah di kamus kami waktu itu. Coba tebak apa yang pertama kami kunjungi? Yap benar, Taman Sari Yogyakarta yang
merupakan situs bekas taman atau kebun istana yang dibangun pada masa Sultan Hamengkubuwono I yaitu pada tahun 1758-1765/9. Kebun istana ini merupakan sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bagian bangunan. Dan yang masih tersisa sampai dengan saat ini ada dua bagian yaitu Bagian pertama merupakan danau buatan yang disebut “segaran” serta bangunan yang ada di tengahnya berupa pulo kenongo, pulo cemethi dan sumur gumuling. Bagian kedua berupa Gedhong Gapura Agung, Gedhong Lopak-lopak, Umbul pasiraman atau Umbul binangun, Gedhong Sekawan, Gedhong Gapura Panggung, dan Gedhong Temanten. 

Masjid Agung Yogyakarta
Pada awalnya saya bersama beberapa Teman  saya sudah keluar dari tempat Kos sekitar pukul 6.30 pagi, berjalan menuju pasar beringharjo. Di pasar tersebut seorang tukang becak menawari saya untuk berkeliling di sekitar kraton ke tempat oleh-oleh batik, kaos dagadu dan bakpia hanya dengan tariff Rp.5000 rupiah saja. Saya pun menerima tawarannya
Saya pun mengutarakan niat saya kepada tukang becak tersebut untuk mengunjungi Taman Sari, namun tukang becak tersebut menginformasikan bahwa Taman Sari baru dibuka sekitar pukul 9 pagi. Setelah berkeliling di sekitar keraton melewati kauman, kampung ngasem menuju jalan sidomukti Rotowijayan dan kembali ke pasar beringharjo ternyata waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi. Akhirnya kami pun kembali ke penginapan sekitar pukul 8.30 pagi. Beristirahat sejenak dan sarapan dengan nasi pecel yang dibeli di pasar beringharjo.

Setelah beristirahat sejenak dan packing untuk meneruskan perjalanan ke solo, maka sekitar pukul 10 kurang kami beranjak menuju taman sari. Untuk menuju Taman Sari dari Sosrowijayan bisa langsung naik Trans Jogja dengan tariff Rp.3000 dan turun di halte malioboro 3, dilanjutkan dengan menaiki becak dengan tariff Rp.10,000 menuju Taman sari. Kami pun diantarkan oleh tukang becak ke pasar burung ngasem. Pada awalnya saya sempat heran kenapa saya diturunkan disini, bukan di gerbang utama. Tukang becak tersebut menunjukkan bahwa Taman Sari ada di belakang bangunan itu, sambil menunjuk bangunan tinggi yang sudah runtuh yang tersisa hanya dinding yang sudah lapuk.

kerrennya gak ketulung
Kami pun berjalan memasuki sebuah gapura yang melengkung dengan dihiasi sebuah lampu berornamen klasik di kedua sisinya. Sebelum memasuki gapura tersebut disisi sebelah kanan saya merupakan pasar ngasem dan setelah memasuki gapura di sisi kiri seperti tempat beristirahat dan tepat di hadapan gapura ada sebuah panggung yang terbuat dari batu-batu alam persegi. 


Disisi bangunan masih bisa dijumpai sisa-sisa reruntuhan bangunan pulau cemeti. Bangunan tersebut seperti tidak terawat, dindingnya kusam dan berlumut. Atap bangunannya runtuh karena termakan usia dan menurut sumber yang lain menyebutkan runtuh karena gempa. Ketika saya tiba ada beberapa pasangan yang berada di sana menikmati sunyinya bangunan. 

Saya berjalan menuju ke arah selatan dan melewati gerbang yang sama seperti saya masuk ke pulau cemeti hanya bedanya ada beberapa gerbang. Saya menuruni beberapa anak tangga dan berjalan masuk ke sebuah pintu yang didalamnya ternyata adalah sebuah terowongan yang menurut sebuah sumber, terowongan ini dahulunya  berada di bawah permukaan air yang menghubungkan pulau cemeti dengan gapura panggung dan pesanggrahan taman sari.

Pemandian Hemengkubowono I
Kami pun berjalan menuju gerbang utama yaitu gapura panggung untuk memasuki pemandian Taman Sari yang biasa disebut umbul binangun. Gapura Panggung yang berada di sebelah timur bentuknya memukau dengan arsitektur dan ornament asli jawa dan dihiasi 2 buah patung naga di sisi gerbangnya.

Kami memasuki gapura panggung tersebut dan setelah membeli tiket seharga Rp.3000 untuk wisawatan domestic, maka kami pun masuk ke dalam taman sari. Setelah keluar dari gapura panggung sebuah jalan yang dibentuk oleh batuan alam persegi yang disusun dengan pola teratur menghubungkan gapura panggung dengan sebuah gerbang menuju umbul binangun. Di tepi jalan tersebut dihiasi beberapa buah pot yang tinggi dan besar, di dalam pot tersebut tertanam sebuah pohon berukuran sedang seakan menggiring pengunjung menuju umbul binangun. 

Selain dihiasi pot berisi pohon berukuran sedang ada 4 buah bangunan yang merupakan gedong sekawan. Bangunan ini memiliki kesamaan bentuk dan ukuran dan diletakkan dihalaman persegi delapan.  Ke empat bangunan tadi pada masa lalu digunakan untuk tempat peristirahatan para istri dan keluarga sultan.

Saya pun berjalan melewati gedong sekawan dan memasuki gerbang menuju umbul binangun. Gerbangnya berbentuk seperti rumah yang di atas pintu masuknya dihiasi oleh ornament jawa klasik dengan unsur cinanya. Sebelum memasuki pintu tersebut lalu saya pun dapat melihat dibawah sana
Trowongan Prajurit
umbul binangun dengan dasar berwarna biru terlihat mempesona. 

Umbul binangun menggoda saya untuk turun dan merasakan kesejukan airnya. Saya pun berjalan menuruni puluhan anak tangga dan saya terhenti tepat di bagian bawah anak tangga. Dari situ umbul binangun pun terlihat sempurna dengan dikelilingi tembok tinggi. Di beberapa bagian kolam terdapat air yang memancar dari sebuah ornament berbentuk jamur dengan sculpture teratai yang memperindah umbul binangun. Sedangkan di beberapa titik di sisi kolam terdapat pot bunga besar yang mempercantik pemandian taman sari.

Di seberang saya berdiri ada sebuah pintu gerbang yang menghubungkan dengan gapura agung. Di sebelah selatan ada sebuah menara yang bisa melihat umbul binangun secara keseluruhan. Konon dari menara tersebut sultan memilih  salah satu selir atau istrinya. Dibalik menara tersebut ada sebuah kolam yang digunakan khusus untuk pemandian sultan dan permaisurinya saja. Umbul binangun terletak di bagian tengah dan di apit oleh menara dan sebuah kolam dengan ukuran lebih kecil yang disebut umbul muncar.

Setelah berkeliling di tiga kolam pemandian tersebut, maka saya pun beranjak menaiki tangga menuju gerbang gapura agung. Setelah menaiki tangga, sebuah halaman luas menyambut dengan bagian tengah berbentuk persegi delapan dan tepat di seberang pintu terdapat gapura agung dengan bentuk yang memukau. Gapura ini berukuran lebih besar dibanding gapura panggung, bentuknya seperti gunung dengan sisi-sisinya yang berundak dihiasi relief burung dan bunga-bungaan serta ornament klasik memperanggun rupa gapura.

Di sisi sebelah utara ada sebuah rumah di teras rumah tersebut ada pria paruh baya yang sedang mengerjakan wayang kulit. Mengukir sebuah kulit yang sudah berbentuk wayang diatas sebuah talenan berbentuk bundar. Tidak jauh dari pria tadi, seorang wanita yang berusia sekitar 30an tahun sedang menggoreskan canting pada sebuah kain. Rupanya wanita tersebut sedang membuat batik tulis yang berukuran 2x1 meter dan jika dijual bisa berkisar Rp.1,500,000.00. Prosesnya yang rumit dan motif yang menarik membuat harga batik tulis tidak murah.
Taman Sari pada masa lalu merupakan sebuah taman megah dengan pulau buatan di tengahnya yang bisa digunakan untuk pertahanan ataupun peristirahatan yang dihubungkan sebuah terowongan bahwa air. Saat ini air yang dulu menggenangi berganti dengan rumah penduduk ataupun wilayah daratan lainnya. Air di Taman Sari hanya terdapat di kolam pemandian yang memberikan kesejukan dan kesegaran bagi para pengunjungnya.
..
Malioboro
Puas mengunjungi Taman sarii, kami pun melangkah pulang. Badan sudah lelah, belum ada tidur dari tadi malam, hanya tidur-tidur ayam saja. Namun malamnya, Bang Tauhedy mengajak kami ke Alun-alun di dekat kawasan Malioboro, nyari angin malam katanya. Tentu saja kami yang semula sudah mau tidur langsung bergerak, kalo cuma mau tidur, di Jakarta juga bisa coy, mumpung lagi di Yogyakarta, hehe… Sesampai di Alun-alun, banyak pemuda pemudi yang nongkrong sambil makan jagung bakar atau kacang rebus. Disana kami hanya berjalan-jalan santai saja, makan kacang rebus, dan sesekali berfoto. Kemudian, karena sudah tidak tahan lagi, kami pun balik ke rumah, istirahat dulu, besok perjalanan masih panjang.
Keesokan harinya, kami prepare buat perjalanan hari ini. Selesai sarapan, kami langsung bergerak ke arah lokasi Candi Prambanan, ya, salah satu kawasan candi yang terkenal juga di Yogyakarta selain Candi Borobudur. Kalau dari legendanya sih, asal muasal candi tersebut berdasarkan dari cerita rakyat yang menceritakan kisah seorang putri kerajaan Prambanan yang bernama Loro Jonggrang yang disukai oleh Bandung Bondowoso, seseorang yang sakti dan memiliki pasukan jin. Akhir dari ceritanya sang putri dikutuk oleh Bondowoso menjadi salah satu candi untuk melengkapi 1000 candi di situ, wah…
Cape dan puas muter-muter disana, kami pun bergerak ke arah Malioboro, salah satu ruas jalan di Yogyakarta yang sangat terkenal. Malioboro merupakan salah satu simbol Yogyakarta selain Keraton Ngayogyakarta. Khasnya Malioboro? Banyaknya bertebaran pedagang kaki lima dan toko-toko yang menjual cendera mata khas Yogyakarta, seperti digambarkan di lagu Kla Project. Disana macet sekali kawan, banyak sekali tukang becak yang mangkal, mereka menawarkan jasa untuk mengantarkan kami keliling jalan Malioboro dengan tarif Rp 10.000, itu dulu, sekarang sih gatau berapa, bbm naik sih, hehe..
Kegiatan kami disana? Makan siang, naik becak, belanja dagadu serta beberapa cenderamata khas Yogyakarta, dan berkeliling dengan tiada bosannya, setelah itu kami baru berhenti karena merasa lelah, ehehe… Selanjutnya kami pun bergerak pulang kembali ke rumahnya bg Yusnan. Ya, kami berencana untuk balik kembali ke Jakarta hari itu juga.
And finally, its come to ending, that was so amazing there, you must be there too buddy! Trims yang sebesar-besarnya buat bg Yusnan yang telah berbaik hati mengajak kami keliling Yogyakarta selama 2 hari, overall sih luar biasa, sayang momen-momen yang terjadi hanya sedikit yang diabadikan, hehe.. lain kali saya akan mampir lagi ke kota ini, keindahan dan keramahan kotanya membuat saya tidak bisa melupakannya, kali aja dapat penempatan disitu kelak, ngarep.  :)