Istana Kepresidenan Yogyakarta |
Wah,
lama sudah saya tidak membuat tulisan, hampir setengah tahun juga, maklum,
kerjaan kantor lah, main-main lah, ups, hehe… intinya ga ada waktu luang sama
sekali buat menulis.. Baiklah, malam ini saya akan mencoba menceritakan
perjalanan saya yang terjadi sekitar lima tahun yang lalu, yap, pada masa-masa
kuliah semester 4. Here we are… :)
Berawal
dari ngumpul dan ngobrol ngalor-ngidul di salah satu kosan kakak kelas sesama
perantauan di kampus, salah satu teman saya mencetuskan ide untuk keliling
Pulau Jawa, mumpung lagi di Pulau Jawa katanya, hehe.. Idenya berkembang, dan
akhirnya empat orang (termasuk saya) sepakat untuk pergi ke salah satu kota
yang sarat dengan sejarah, ya, Yogyakarta, yang pernah menjadi ibukota
Indonesia, dan berbagai peristiwa sejarah lainnya yang tidak bisa lepas dari
daerah tersebut.
Kebetulan
pada waktu itu kami lagi libur semester yang durasinya kebetulan lumayan
singkat, sehingga kami tidak berlama-lama memikirkan rundown atau iltenary
segala, yang penting berangkat! Haha… Berbekal informasi salah seorang teman di
Yogyakarta, kami menjadi percaya diri untuk memulai perjalanan ini, yang
merupakan pertama kalinya buat kami berempat. Oh ya, teman-teman saya ada Inal,
Mean, dan Rahmat (ntar mereka marah namanya ga dicatut, hehe…
Pada
siang di suatu hari yang saya lupa tanggal dan namanya, hehe.. kami berangkat
ke Jember. Disana kami memesan tiket kereta api kelas ekonomi yang sangat
laris, sehingga sewaktu membelinya berdesak-desakan. Kalo saya ga salah, harga
tiketnya waktu itu masih Rp 36.000, -, ntah lah kalo sekarang. Setelah mendapat
tiket, kami pun langsung masuk, karena kereta apinya akan berangkat.
salah satu Benteng Peninggalan Belanda Vredeburg |
Perjalanan
dengan menaiki kereta api ekonomi dari Jember ke Yogyakarta tersebut merupakan
pengalaman pertama saya, sehingga pada waktu malam tiba, saya tercengang,
melihat banyaknya orang bersileweran di depan saya, ketika saya mau meluruskan
kaki, eh, ternyata di bawah bangkunya sudah ada orang yang tidur berselonjoran,
wah wah. Teriakan seperti mizon, akua, dll pasti terdengar akrab buat
kalian yang sudah merasakannya juga. Tapi bagi saya yang waktu itu baru
merasakan, sepanjang malam tidak bisa tidur, disamping karena selalu terjaga
akibat teriakan pedagang, saya selalu merasa waswas dengan harta benda,
bisa-bisa lenyap dan berpindah tangan.
Kami
tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta, sekitar pukul sepuluh malam. Begitu
tiba, kami mencari musholla, dan kemudian sholat, walaupun terlambat, tapi
hanya Tuhan yang tahu. Selesai sholat dan cuci muka, kami menghubungi beberapa
teman kami yang mengenyam pendidikan di sana, untuk menjemput saya yang lagi
plonga plongo di stasiun Lempuyangan . And
here we are, YOGYAKARTA! Selama ini hanya mendengar namanya saja dan
melihatnya dari layar televisi tayangan yang mengulas Yogyakarta, seperti Candi
Borobudur, Candi Prambanan, Pantai Parangtritis, Malioboro, wah wah, saya
merasa sangat senang bisa menginjakkan kaki di sini, kala itu lagunya Kla
Project yang berjudul Yogyakarta
saya senandungkan di sepanjang perjalanan dari stasiun,
Pulang
ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu,
Masih
seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa makna,
Terhanyut
aku akan nostalgi saat kita sering luangkan waktu,
Nikmati
bersama suasana Jogja….
Nama Yogyakarta berarti Yogya yang kerta atau Yogya yang makmur. Dalam
penggunaan sehari-hari, Yogyakarta lajim diucapkan Jogja (karta) atau
Ngayogyakarta (bahasa Jawa). Dulunya sih sebelum Indonesia merdeka di sana
sudah ada sistem pemerintahan sendiri, yaitu Kasultanan. Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 didirikan oleh Pangeran Mangkubumi
yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dan Kadipaten Pakualam yang
didirikan oleh Pangeran Notokusumo pada tahun 1813, yang kemudian bergelar
Adipati Paku Alam I. Sempat menjadi ibukota negara Republik Indonesia dari 4
Januari 1946 hingga 17 Desember 1949 pada saat terjadi agresi militer Belanda.
Pokoknya tiap sudut kotanya sarat dengan sejarah kawan!
Oh
ya, apa sih ciri khas kota ini kawan? Mau tau? Keluar dari stasiun aja udah
ketauan kok, orang-orangnya ramah dan bersahabat, tidak beringasan seperti di Jember,
keluar dari stasiun udah ditarik-tarik, dan didekati seperti preman, hadeh.. Just
try it! Saya sangat menyarankan kepada kalian kawan, datanglah ke
Yogyakarta!
Sesampai
di rumah Kos an yang bernama Tauhedy, yang merupakan teman yang sedang kuliah
di UIN Sunan Kali Jaga kala itu, dia
mengajak kami sarapan. Setelah itu, kami pun rembugan, mau kemana saja, budget
berapa, dan estimasi waktunya sampai kapan, haha, disitu baru dibahas kawan.
Sesudah sarapan, dan setelah semuanya sepakat, kami pun menyarter kendaraan
roda empat, untuk kami bertiga dengan bang Tauhedy sebagai Tour Guide-nya.
Depan Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta |
Hari
itu juga, sekitar pukul sepuluh pagi, kami sudah berangkat menuju tempat tujuan
pertama, tidak ada kata lelah di kamus kami waktu itu. Coba tebak apa yang
pertama kami kunjungi? Yap benar, Taman Sari Yogyakarta yang
merupakan
situs bekas taman atau kebun istana yang dibangun pada masa Sultan
Hamengkubuwono I yaitu pada tahun 1758-1765/9. Kebun istana ini merupakan
sebuah kompleks yang terdiri dari beberapa bagian bangunan. Dan yang masih
tersisa sampai dengan saat ini ada dua bagian yaitu Bagian pertama merupakan
danau buatan yang disebut “segaran” serta bangunan yang ada di tengahnya berupa
pulo kenongo, pulo cemethi dan sumur gumuling. Bagian kedua berupa Gedhong
Gapura Agung, Gedhong Lopak-lopak, Umbul pasiraman atau Umbul binangun, Gedhong
Sekawan, Gedhong Gapura Panggung, dan Gedhong Temanten.
Masjid Agung Yogyakarta |
Pada
awalnya saya bersama beberapa Teman saya
sudah keluar dari tempat Kos sekitar pukul 6.30 pagi, berjalan menuju pasar
beringharjo. Di pasar tersebut seorang tukang becak menawari saya untuk
berkeliling di sekitar kraton ke tempat oleh-oleh batik, kaos dagadu dan bakpia
hanya dengan tariff Rp.5000 rupiah saja. Saya pun menerima tawarannya
Saya
pun mengutarakan niat saya kepada tukang becak tersebut untuk mengunjungi Taman
Sari, namun tukang becak tersebut menginformasikan bahwa Taman Sari baru dibuka
sekitar pukul 9 pagi. Setelah berkeliling di sekitar keraton melewati kauman,
kampung ngasem menuju jalan sidomukti Rotowijayan dan kembali ke pasar
beringharjo ternyata waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi. Akhirnya kami pun
kembali ke penginapan sekitar pukul 8.30 pagi. Beristirahat sejenak dan sarapan
dengan nasi pecel yang dibeli di pasar beringharjo.
Setelah
beristirahat sejenak dan packing untuk meneruskan perjalanan ke solo, maka
sekitar pukul 10 kurang kami beranjak menuju taman sari. Untuk menuju Taman
Sari dari Sosrowijayan bisa langsung naik Trans Jogja dengan tariff Rp.3000 dan
turun di halte malioboro 3, dilanjutkan dengan menaiki becak dengan tariff
Rp.10,000 menuju Taman sari. Kami pun diantarkan oleh tukang becak ke pasar
burung ngasem. Pada awalnya saya sempat heran kenapa saya diturunkan disini,
bukan di gerbang utama. Tukang becak tersebut menunjukkan bahwa Taman Sari ada
di belakang bangunan itu, sambil menunjuk bangunan tinggi yang sudah runtuh
yang tersisa hanya dinding yang sudah lapuk.
kerrennya gak ketulung |
Kami
pun berjalan memasuki sebuah gapura yang melengkung dengan dihiasi sebuah lampu
berornamen klasik di kedua sisinya. Sebelum memasuki gapura tersebut disisi
sebelah kanan saya merupakan pasar ngasem dan setelah memasuki gapura di sisi
kiri seperti tempat beristirahat dan tepat di hadapan gapura ada sebuah
panggung yang terbuat dari batu-batu alam persegi.
Disisi
bangunan masih bisa dijumpai sisa-sisa reruntuhan bangunan pulau cemeti.
Bangunan tersebut seperti tidak terawat, dindingnya kusam dan berlumut. Atap
bangunannya runtuh karena termakan usia dan menurut sumber yang lain
menyebutkan runtuh karena gempa. Ketika saya tiba ada beberapa pasangan yang
berada di sana menikmati sunyinya bangunan.
Saya
berjalan menuju ke arah selatan dan melewati gerbang yang sama seperti saya
masuk ke pulau cemeti hanya bedanya ada beberapa gerbang. Saya menuruni
beberapa anak tangga dan berjalan masuk ke sebuah pintu yang didalamnya
ternyata adalah sebuah terowongan yang menurut sebuah sumber, terowongan ini
dahulunya berada di bawah permukaan air
yang menghubungkan pulau cemeti dengan gapura panggung dan pesanggrahan taman sari.
Pemandian Hemengkubowono I |
Kami
pun berjalan menuju gerbang utama yaitu gapura panggung untuk memasuki
pemandian Taman Sari yang biasa disebut umbul binangun. Gapura Panggung yang
berada di sebelah timur bentuknya memukau dengan arsitektur dan ornament asli
jawa dan dihiasi 2 buah patung naga di sisi gerbangnya.
Kami
memasuki gapura panggung tersebut dan setelah membeli tiket seharga Rp.3000
untuk wisawatan domestic, maka kami pun masuk ke dalam taman sari. Setelah
keluar dari gapura panggung sebuah jalan yang dibentuk oleh batuan alam persegi
yang disusun dengan pola teratur menghubungkan gapura panggung dengan sebuah
gerbang menuju umbul binangun. Di tepi jalan tersebut dihiasi beberapa buah pot
yang tinggi dan besar, di dalam pot tersebut tertanam sebuah pohon berukuran sedang
seakan menggiring pengunjung menuju umbul binangun.
Selain
dihiasi pot berisi pohon berukuran sedang ada 4 buah bangunan yang merupakan
gedong sekawan. Bangunan ini memiliki kesamaan bentuk dan ukuran dan diletakkan
dihalaman persegi delapan. Ke empat
bangunan tadi pada masa lalu digunakan untuk tempat peristirahatan para istri
dan keluarga sultan.
Saya
pun berjalan melewati gedong sekawan dan memasuki gerbang menuju umbul
binangun. Gerbangnya berbentuk seperti rumah yang di atas pintu masuknya dihiasi
oleh ornament jawa klasik dengan unsur cinanya. Sebelum memasuki pintu tersebut
lalu saya pun dapat melihat dibawah sana
umbul binangun dengan dasar berwarna
biru terlihat mempesona.
Trowongan Prajurit |
Umbul
binangun menggoda saya untuk turun dan merasakan kesejukan airnya. Saya pun
berjalan menuruni puluhan anak tangga dan saya terhenti tepat di bagian bawah
anak tangga. Dari situ umbul binangun pun terlihat sempurna dengan dikelilingi
tembok tinggi. Di beberapa bagian kolam terdapat air yang memancar dari sebuah
ornament berbentuk jamur dengan sculpture teratai yang memperindah umbul
binangun. Sedangkan di beberapa titik di sisi kolam terdapat pot bunga besar
yang mempercantik pemandian taman sari.
Di
seberang saya berdiri ada sebuah pintu gerbang yang menghubungkan dengan gapura
agung. Di sebelah selatan ada sebuah menara yang bisa melihat umbul binangun
secara keseluruhan. Konon dari menara tersebut sultan memilih salah satu selir atau istrinya. Dibalik
menara tersebut ada sebuah kolam yang digunakan khusus untuk pemandian sultan
dan permaisurinya saja. Umbul binangun terletak di bagian tengah dan di apit
oleh menara dan sebuah kolam dengan ukuran lebih kecil yang disebut umbul
muncar.
Setelah
berkeliling di tiga kolam pemandian tersebut, maka saya pun beranjak menaiki
tangga menuju gerbang gapura agung. Setelah menaiki tangga, sebuah halaman luas
menyambut dengan bagian tengah berbentuk persegi delapan dan tepat di seberang
pintu terdapat gapura agung dengan bentuk yang memukau. Gapura ini berukuran
lebih besar dibanding gapura panggung, bentuknya seperti gunung dengan
sisi-sisinya yang berundak dihiasi relief burung dan bunga-bungaan serta
ornament klasik memperanggun rupa gapura.
Di
sisi sebelah utara ada sebuah rumah di teras rumah tersebut ada pria paruh baya
yang sedang mengerjakan wayang kulit. Mengukir sebuah kulit yang sudah
berbentuk wayang diatas sebuah talenan berbentuk bundar. Tidak jauh dari pria
tadi, seorang wanita yang berusia sekitar 30an tahun sedang menggoreskan canting
pada sebuah kain. Rupanya wanita tersebut sedang membuat batik tulis yang
berukuran 2x1 meter dan jika dijual bisa berkisar Rp.1,500,000.00. Prosesnya
yang rumit dan motif yang menarik membuat harga batik tulis tidak murah.
Taman
Sari pada masa lalu merupakan sebuah taman megah dengan pulau buatan di
tengahnya yang bisa digunakan untuk pertahanan ataupun peristirahatan yang
dihubungkan sebuah terowongan bahwa air. Saat ini air yang dulu menggenangi
berganti dengan rumah penduduk ataupun wilayah daratan lainnya. Air di Taman
Sari hanya terdapat di kolam pemandian yang memberikan kesejukan dan kesegaran
bagi para pengunjungnya.
..
Malioboro |
Puas
mengunjungi Taman sarii, kami pun melangkah pulang. Badan sudah lelah, belum
ada tidur dari tadi malam, hanya tidur-tidur ayam saja. Namun malamnya, Bang
Tauhedy mengajak kami ke Alun-alun di dekat kawasan Malioboro, nyari angin
malam katanya. Tentu saja kami yang semula sudah mau tidur langsung bergerak,
kalo cuma mau tidur, di Jakarta juga bisa coy, mumpung lagi di Yogyakarta,
hehe… Sesampai di Alun-alun, banyak pemuda pemudi yang nongkrong sambil makan
jagung bakar atau kacang rebus. Disana kami hanya berjalan-jalan santai saja,
makan kacang rebus, dan sesekali berfoto. Kemudian, karena sudah tidak tahan
lagi, kami pun balik ke rumah, istirahat dulu, besok perjalanan masih panjang.
Keesokan
harinya, kami prepare buat perjalanan hari ini. Selesai sarapan, kami
langsung bergerak ke arah lokasi Candi Prambanan, ya, salah satu kawasan candi
yang terkenal juga di Yogyakarta selain Candi Borobudur. Kalau dari legendanya
sih, asal muasal candi tersebut berdasarkan dari cerita rakyat yang
menceritakan kisah seorang putri kerajaan Prambanan yang bernama Loro Jonggrang
yang disukai oleh Bandung Bondowoso, seseorang yang sakti dan memiliki pasukan
jin. Akhir dari ceritanya sang putri dikutuk oleh Bondowoso menjadi salah satu
candi untuk melengkapi 1000 candi di situ, wah…
Cape
dan puas muter-muter disana, kami pun bergerak ke arah Malioboro, salah satu
ruas jalan di Yogyakarta yang sangat terkenal. Malioboro merupakan salah satu
simbol Yogyakarta selain Keraton Ngayogyakarta. Khasnya Malioboro? Banyaknya
bertebaran pedagang kaki lima dan toko-toko yang menjual cendera mata khas
Yogyakarta, seperti digambarkan di lagu Kla Project. Disana macet sekali kawan,
banyak sekali tukang becak yang mangkal, mereka menawarkan jasa untuk mengantarkan
kami keliling jalan Malioboro dengan tarif Rp 10.000, itu dulu, sekarang sih
gatau berapa, bbm naik sih, hehe..
Kegiatan
kami disana? Makan siang, naik becak, belanja dagadu serta beberapa cenderamata
khas Yogyakarta, dan berkeliling dengan tiada bosannya, setelah itu kami baru
berhenti karena merasa lelah, ehehe… Selanjutnya kami pun bergerak pulang
kembali ke rumahnya bg Yusnan. Ya, kami berencana untuk balik kembali ke
Jakarta hari itu juga.
And
finally, its come to ending, that was so amazing there, you must be there too
buddy! Trims
yang sebesar-besarnya buat bg Yusnan yang telah berbaik hati mengajak kami
keliling Yogyakarta selama 2 hari, overall sih
luar biasa, sayang momen-momen yang terjadi hanya sedikit yang diabadikan,
hehe.. lain kali saya akan mampir lagi ke kota ini, keindahan dan keramahan
kotanya membuat saya tidak bisa melupakannya, kali aja dapat penempatan disitu
kelak, ngarep. :)