Masjid Tampak Dari Luar |
Ketika tahu
bahwa saya akan berkunjung ke Malang, seorang teman memberikan saran agar saya
menyempatkan diri untuk singgah ke masjid Tiban di Turen, sedikit di luar kora
Malang.
Awalnya saya
tidak terlalu menanggapi, hanya bertanya dengan enteng, “apaan tuh masjid
Tiban?”
“Itu masjid yang konon diyakini masyarakat dibuat oleh jin, makanya dinamai masjid Tiban (masjid yang muncul ‘dadakan’),” jawab teman saya.
“Itu masjid yang konon diyakini masyarakat dibuat oleh jin, makanya dinamai masjid Tiban (masjid yang muncul ‘dadakan’),” jawab teman saya.
Saya mulai
tertarik, karena biasanya teman yang satu ini tidak suka bercanda dan
berbohong. Tapi tetap saja anggapan mengenai jin yang membangun masjid di era
modern saat ini agak sulit masuk di akal. Namun hal ini justru membangkitkan
minat saya untuk mendatangi masjid yang disebutnya.
Tanpak Pintu masuk darfi lantai 12 |
Maka ketika
urusan pribadi saya sudah selesai di hari Sabtu siang, 24 Agustus yang lalu,
saya tanya ke sopir rental apakah dia tahu lokasi masjid Tiban di Turen. Dia
spontan jawab, “tahu pak. Saya beberapa kali mengantarkan tamu kesana.”
Kebetulan
isteri dan ibu saya juga ikutan ke Malang dan mereka berdua yang penasaran
mendengar cerita sepotong soal masjid yang dibangun jin ini, antusias untuk
ikut.
Perjalanan
menuju Turen yang hanya sekitar 25 km di luar kota Malang ternyata memakan
waktu yang lebih lama dari dugaan saya, hampir satu jam. Lokasi persisnya
berada di jalan Wahd Hasyim, Gang Anyar, Desa Sananrejo, Kecamatan Turen,
Kabupaten Malang.
Singkat
cerita, setelah melalui jalan kecil yang cukup mulus namun ramai, kami pun
memasuki gang kecil yang hanya muat untuk satu kendaraan. Di kanan kirinya ada
kios-kios penjual buah dan makanan. Rupanya itu adalah jalan masuk menuju
kompleks masjid. Jalan itu berakhir di pintu gerbang tinggi besar yang terbuat
dari keramik biru putih yang dihiasi kaligrafi.
Saya mulai
terkesan, karena membuat gerbang sebesar itu dengan tulisan kaligrafi bukan
pekerjaan yang mudah. Diatas pintu gerbang terpampang tulisan besar “Selamat
Datang – Pondok Pesantren Syalafiyah Bihaaru Bahri ’Asali Fadlaailir.”
Oh ya,
masyarakat setempat lebih mengenal kompleks ini sebagai Pondok Pesantren yang
didalamnya terdapat masjid yang menghebohkan ini. Kendaraan yang memasuki
kompleks langsung dipandu menuju areal parkir yang cukup luas oleh petugas yang
ternyata adalah santri pondok pesantren.
Masih didalam Ruangan tempat Pengantin |
Melihat
banyaknya kendaraan yang parkir dan iringan mobil yang ada di belakang kami,
saya percaya bahwa masjid di Turen ini pasti sudah jadi ikon wisata di Malang.
Sopir kami menyebutkan bahwa di hari Minggu para tamu harus memarkirkan
mobilnya di luar kompleks saking ramainya pengunjung dan harus berjalan kaki
masuk. Begitu turun dari kendaraan, kami diminta untuk mendaftarkan diri ke
loket informasi di bangunan khusus bernuansa oranye, sekaligus meminta karcis
mobil untuk keluar kompleks. Tanpa karcis, kendaraan tidak diijinkan untuk
keluar dari kompleks pesantren.
Di loket
pendaftaraan saya hanya ditanyakan nama, kota asal dan berapa jumlah anggota
rombongan. Tidak ada bayaran tiket masuk atau semacamnya. Selesai mendaftar,
kami mulai celingukan kiri kanan. Bingung, karena terlihat ada banyak pintu
masuk.
Ditengah
kebingungan, tahu-tahu kami ditegur oleh seorang pemuda berpeci dengan seragam
hitam. Rupanya ia santri yang tengah bertugas. Mungkin dia paham bahwa kami
merasa asing dengan lokasi, sehingga dia menawarkan diri untuk memandu kami.
Pucuk dicinta ulam tiba, kami dengan senang hati mengikuti pemuda tersebut.
Begitu masuk
ke bangunan utama, kami diminta melepas sepatu untuk ditenteng menyusuri jalan
masuk berupa lorong yang agak mendaki dengan dinding yang dihiasi aneka
ornamen, ukiran dan kaligrafi. Pemandu kami menjelaskan dengan singkat bahwa
bangunan pondok pesantren ini mulai didirikan oleh KH. Achmad sejak tahun 1978
yang sampai kini pembangunannya sudah mencapai 10 lantai, namun masih belum
selesai. Targetnya disebutkan, 18 lantai. Saya memang melihat banyak dinding
yang polesannya masih setengah jadi walau tidak terlihat ada yang bekerja.
Ditanya tentang
arsitek bangunan, si pemandu kembali menjelaskan bahwa desainernya adalah KH
Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh sendiri yang memberikan instruksi pengerjaan
kepada para santri berdasarkan hasil istikharah. Artinya, kalau sinyal dari
istikharah belum datang, pekerjaannya belum dilanjutkan. Sehingga kalau ditanya
seperti apa bentuk bangunan ini nantinya, tidak ada yang bisa menjawab.
Sejujurnya,
desain interior gedung ini memang unik, seperti perpaduan budaya timur tengah,
dan Cina. Di sepanjang lorong yang kami lalui dindingnya penuh dengan
ornamen-ornamen etnik campuran Arab, India dan Cina dengan corak warna yang
aneka ragam. Kami berjalan dengan santai sambil menikmati desain interior
lantai demi lantai sambil berjalan mengikuti santri pemandu.
Awalnya ibu
saya yang berusia 79 tahun agak menolak untuk menaiki tangga untuk menuju ke
lantai atas, namun santri pemandu membujuk dengan santun agar ibu saya
meyakinkan diri akan kemampuan menaiki anak tangga sambil “istighfar” dalam
hati. Alhamdulillah, ibu pun mematuhinya dan mampu naik hingga ke lantai 6
sebelum akhirnya dipandu turun kembali melalui lorong-lorong yang berbeda.
Mungkin karena memaklumi memandu orang tua, santri pemandu kami mempersilahkan
kami beristirahat sejenak di salah satu lantai yang disebutkan sebagai ruangan
penerimaan tamu Kiai Achmad.
tipikal
lorong di dalam gedung, dihiasi oleh ukiran dan kaligrafi.
Di lantai
berikutnya, saya lupa apakah lantai 5 atau 6, ada kolam renang kecil yang
dulunya dibuat untuk tempat mandi putri Kiai Achmad semasa kecil. Kolam itu
masih dirawat dan berisi air yang jernih. Kami sempat masuk ke salah satu ruang
pertemuan yang konon bisa memuat 200 orang, terpajang sebuah jam antik yang
indah ditengah aneka kaligrafi di dindingnya. Di beberapa ruangan terdapat
kursi-kursi yang terbuat dari kayu jati dengan desain yang anggun dan unik. Ada
lantai yang disini oleh akuarium ikan yang beraneka ragam seperti ikan koi,
ikan emas dan lainnya.
Saya
bertanya, kenapa ada akuarium disni? Dijawab singkat, bahwa akuarium ini
dimaksudkan untuk membersihkan hati para santri serta siapapun yang masuk ke
ruangan tersebut. Adanya kubah-kubah yang berhiaskan semacam motif
berwarna-warni yang semarak. Ada pula lantai yang memiliki ornamen berupa pohon
kurma buatan yang diberi lampu warna-warni yang terlihat indah ketika
berkelap-kelip.
Seusai tur
singkat mengelilingi bangunan pondok pesantren walaupun hanya sampai lantai 6,
kami rehat sejenak di salah satu kios makanan yang tampaknya dikelola oleh
santri pondok pesantren. Saya hanya mampu menyiratkan rasa kagum akan kehadiran
bangunan pondok pesantren ini yang dibangun oleh seorang Kiai berdasarkan hasil
istikharah tanpa adanya pemahaman tentang arsitektur ataupun ilmu teknik sipil.
Rasanya
agak sulit diterima akal, namun itulah faktanya. Pembangunan gedung yang
dimulai pada tahun 1978 dilakukan secara bertahap tanpa bantuan alat-alat berat
dan modern. Pekerjaan itu semua dilakukan oleh para santri yang jumlahnya 250
orang dan beberapa penduduk di sekitar pondok pesantren. Material yang
digunakan untuk membangun juga apa adanya. Diceritakan bahwa waktu itu hanya
ada batu merah, sehingga batu merah itulah yang dipasang dengan adonan dari
tanah liat (ledok).
Interior Ruang Tamu.... sangat Megah Bukan.....!!!! |
Informasi
tambahan yang saya baca di wikipedia, pembangunan masjid ini mulai dari bawah
tanah, tepatnya di lantai tiga, ada tiang penyangga dari seluruh bangunan yang
terbuat dari tanah liat. Satu tiang yang dibuat tanah liat itu yang menjadi roh
atau kekuatan dari seluruh bangunan. Pembangunan dan perluasan pondok dilakukan
seadanya hingga tahun 1992. Selama beberapa tahun pembangunan sempat terhenti,
namun di tahun 1999 pembangunannya kembali dilanjutkan.
Maka ketika
masyarakat menyebutkan bahwa bangunan di Turen ini sebagai sebagai masjid Tiban
(dadakan) atau banyak juga yang menyebut sebagai masjid Jin, itu sesungguhnya
tidak masuk akal. Saya pribadi hanya bingung sekaligus terkesima melihat
kenyataan adanya bangunan yang memiliki desain unik (walaupun arsitektur
etniknya tumpah tindih) dengan ornamen interior dari bahan-bahan mahal yang
dibangun oleh orang-orang yang sama sekali tidak memiliki keahlian ilmu
bangunan. Dan juga tidak ada yang bisa menjawab, dari mana dana pembangunan
termasuk juga pembelian furniture antik semisal kursi meja marmer dari italia,
jam antik, kursi kayu jati yang anggun serta ornamen impor lainnya. Perlu
diketahui bahwa jalan masuk ke kompleks pondok pesantren hanya bisa dilalui
oleh kendaraan biasa, bukan sekelas truk atau alat berat.
Ketika
ditanya, para santri pondok pesantren hanya menyebutkan, itulah kebesaran Allah
sehingga persoalan dana dan dari mana asalnya ornamen impor dan interior indah
itu berasal, tidak usah dipusingkan. Subhanallah
Video Singkatnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar